Toko Roti Lariss sa mempersembahkan……………
Bubur Samin Tak Pandang Status
By Nurlis Effendi
Api mulai menyala di halaman masjid, memanggang tunggu besar yang berisi beras. Beberapa orang sibuk memotong daging sapi, ada pula yang meracik bumbu.
Total 40 kilogram beras yang diaduk dalam panci berukuran besar itu. Kemudian ditambah irisan daging sapi 5 kilogram, santan dari buah kelapa dan bumbu rempah-rempahan. Mereka dengan sabar mengaduk hingga semua bahan masak itu tercampur menjadi satu.
Prosesi memasak ini memakan waktu empat jam. Tak lama kemudian, aroma yang sungguh sedap keluar melalui asap dari tungku. Menghirup baunya terasa nikmat, apalagi di siang hari pada titik berat menahan lapar dan dahaga berpuasa.
Mereka menamakan masakan ini bubur samin. Alasannya, warnanya mirip minyak samin yang kekuningan. Menu ini disajikan di dalam masjid untuk berbuka puasa, gratis selama bulan suci.
Buka puasa dengan bubur samin merupakan kebiasaan masyarakat perantau asal Martapura, Kalimantan Selatan, yang hijrah ke Solo. Mereka datang ke kota Bengawan ini untuk mengais keuntungan berjualan permata dan berlian.
Menurut salah seorang takmir Masjid Darussalam, Anwar, kebiasan takjilan atau berbuka di masjid dengan menu seperti ini telah berlangsung sejak 1950. Warga perantau itu memang sejak dulu memiliki ‘markas’ berkumpul di Masjid Darussalam ini.
Di sinilah mereka yang sudah menjadi saudagar batu pertama menyisihkan keuntungannya untuk bersedekah. Yakni, dengan memberikan bubur samin secara cuma-cuma kepada jamaah masjid.
Kini, menu berbuka bubur samin itu mulai dinikmati warga sekitar masjid maupun warga sekitar Solo. Mereka biasanya datang berbondong-bondong dengan membawa rantang ke halaman masjid seusai sholat ashar. Mereka mengantri dan menunggu giliran mendapat jatah bubur samin.
Tak hanya dari kalangan masyarakat bawah, namun masyarakat dari kalangan menengah hingga atas banyak sekali yang rela mengantri untuk mendapatkan bubur ini. Tradisi yang sudah turun temurun ini memang tidak membedakan status bagi si peminta bubur itu.
“Mereka ada yang buruh bangunan, tukang becak, supir taksi hingga bos-bos. Namun, mereka tetap berbaur menjadi satu. Ini merupakan wujud kerukunan yang tidak membedakan status sosialnya," kata Anwar.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 16.30 WIB, bubur samin yang khusus dibagikan kepada masyarakat umum pun habis. Namun, tidak demikian halnya untuk para jamaah yang akan melakukan buka bersama di masjid. Sebab, pihak takmir masjid telah menyisakannya.
Untuk takjilan telah disiapkan 250 piring. Sedangkan yang telah dibawa pulang oleh warga itu jumlahnya mencapai 750 piring.
Selain bubur samin, pengurus takmir masjid menyediakan menu minuman khusus, yakni kopi susu. Setiap hari jumlah kopi yang dihabiskan untuk menjamu berbuka puasa para jamaah masjid itu sebanyak 1,5 kilogram kopi, 7 kilogram gula dan 8 kaleng susu putih.
Biaya memasak bubur dan membuat minuman kopi susu ini Rp 1,5 juta. Uang tersebut berasal dari sumbangan para dermawan. Hanya saja sekarang ini sudah mulai berubah, kalau dulu donatur hanya sebatas masyarakat keturunan Banjar, tetapi sekarang sudah mulai terbuka dengan menerima dari masyarakat umum yang ingin menyumbangnya.
0 komentar:
Posting Komentar